nasional

Biota Laut Indonesia Terancam akibat Penanganan Sampah di Laut Kurang Maksimal, Ekonomi Sirkular Jadi Solusi?

Minggu, 27 November 2022 | 19:09 WIB
Nelayan Mengumpulkan Sampah Laut (EcoRanger)

ALURINFORMASI.COM - Indonesia menghadapi ancaman terkait lingungan hidup karena penanganan Sampah di Laut belum maksimal.

Menurut data pemerintah, terjadi peningkatan pesat sampah kemasan sekali pakai karena sistem pengelolaan sampah yang tidak efektif yang tidak terkendali selama bertahun-tahun.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, menghasilkan sekitar 42 juta ton sampah kota dan 7,8 juta ton sampah plastik.

Sekitar 4,9 juta ton sampah termasuk dalam kategori tidak dikumpulkan, atau dibuang dengan tidak semestinya, sehingga menjadi bocor dari tempat pembuangan sampah atau TPS.

Pengelolaan sampah plastik yang lebih baik di daratan dianggap dapat mengurangi sampah plastik yang masuk ke laut. 

Hal ini telah dirujuk sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah apa yang harus dilakukan dengan jumlah sampah plastik yang melimpah.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan sejumlah peraturan untuk menangani masalah sampah laut.

Termasuk dikeluarkannya Perpres no. 81/2018 tentang Penanganan Sampah Laut dan Rencana Aksi Nasional Sampah Laut, yang bertujuan untuk mengurangi 70 persen sampah plastik laut pada tahun 2025.

Namun, banyak laporan yang secara konsisten menunjukkan bahwa masalah sampah laut di Indonesia tidak mungkin diselesaikan dalam waktu dekat.

Salah satu cara untuk menghadapi tantangan tersebut, yang telah digaungkan berulang kali oleh regulator, serta pemangku kepentingan terkait di negara ini adalah dengan mendorong transisi ke ekonomi sirkular, di mana konsumen dan produsen diberikan insentif untuk menggunakan kembali produk, daripada membuangnya. mengarah pada penggalian sumber daya baru.

Namun, penerapan konsep tersebut merupakan tantangan di negara berkembang seperti Indonesia, terutama karena investasi yang tinggi untuk inovasi serta peningkatan aspek regulasi.

“Circular economy memiliki karakteristik alami yang menantang untuk dibiayai terutama karena merupakan sektor baru dan membutuhkan investasi yang tinggi untuk inovasi serta perubahan sistem dan teknologi,” kata Adelia Surya Pratiwi, Ekonom Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan seperti dikutip dari portal berbahasa Inggris JakartaDaily.id.

Meskipun memiliki potensi yang sangat besar karena merupakan wahana penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) serta ekonomi hijau yang sudah menjadi komitmen internasional dan nasional, namun tetap menjadi tantangan bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Menurut Ibu Pratiwi, sebagai bagian dari komitmen bangsa, “wajar jika berasumsi” bahwa pembiayaan katalis untuk SDGs dan ekonomi hijau secara umum akan berasal dari pemerintah.

Halaman:

Tags

Terkini