khazanah

Cancel Culture, Fenomena yang Bikin Redup Karier Public Figure

Jumat, 13 Desember 2024 | 20:24 WIB
Poster Petisi Copot Gus Miftah dari Jabatan Utusan Khusus Presiden pada 4 Desember 2024. (change.org)

Dikutip dari The Private Therapy Clinic, cancel culture pada dasarnya evolusi dari istilah boikot.

Sebagian besar tokoh yang dapat dihakimi oleh publik atas tindakan tidak etisnya, adalah selebriti, pejabat negara, maupun pengusaha terkemuka.

Bagi tokoh yang masuk ranah itu dan tidak ingin kariernya terancam, perlu mewaspadai hal-hal yang menyinggung, menyerang, bermakna rasisme saat berada di hadapan publik.

Sebab, cancel culture dapat membuat nama baik tokoh menjadi buruk dan secara otomatis akan terasingkan saat berada di tengah masyarakat.

Baca Juga: Calvin Verdonk vs Daniel Carvajal di Dunia Sepak Bola: Serupa Namun Tak Sama, Hal yang Bikin Gelandang Skuad Garuda Ini Geleng Kepala

Apa Alasan Adanya Budaya Pembatalan?

Umumnya, publik akan menjadikan budaya pembatalan sebagai dasar dari sanksi sosial.

Selain itu, cancel culture juga dapat membuat tokoh atau publik figur kembali mempertimbangkan konsekuensi dari pernyataan atau tindakan mereka.

Cancel culture juga dianggap sebagai upaya untuk mengungkap tindakan rasisme dan seksisme pada sebuah skandal.

Lebih lanjut, sebenarnya fenomena ini terjadi sebagai bentuk penghakiman publik untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atas pernyataan atau perilakunya.

Baca Juga: Wamendagri Sebut Segudang Manfaat dari Program Makan Gratis, Artis Ini Bangun Sekolah dan Tak Masalah SPP Dibayar Pakai Buah-buahan

Bagaimana Fenomena Ini Berkembang?

Dikutip dari Pew Research Center, 22 persen dari warga Amerika Serikat (AS) menggaungkan cancel culture sebagai bentuk budaya pembatalan karier seorang tokoh publik, yang mulai berkembang pada tahun 2020 lalu.

49 persen di antara warga AS yang mengangkat cancel culture sebagai gerakan untuk menghilangkan status selebriti ataupun memberi penghargaan terhadap korban, menyebut tindakan itu adalah sebuah konsekuensi yang harus diterima si pelaku.

"Area paling umum dari argumen publik untuk menegur tokoh publik di media sosial muncul dari perspektif orang-orang tentang menghakimi atau sebaliknya mencoba membantu korban," tulis pernyataan Pew Research Center dalam artikel yang tayang pada tahun 2021 lalu.

Halaman:

Tags

Terkini