Oleh Adriansyah Kusuma Wardani mahasiswa Pascasarjana Universitas Pasundan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, serta sebagai pengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di jenjang SMP dan SMA.
Rentetan panjang pemilihan presiden tahun 2024 resmi berakhir setelah gugatan Paslon Nomor urut 1 dan Nomor urut 3 mengenai dugaan kecurangan pilpres tidak diindahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Meski pertama kalinya dalam sejarah pemilu kita MK mengeluarkan dissenting opinion, hal ini tidak merubah hasil pilpres tahun 2024. Pada rabu, 22 April lalu lewat sidang putusan sengketa pilpres, MK secara resmi menolak permohonan Paslon 01 dan 03 yang secara otomatis menjadikan Paslon nomor urut 02 Prabowo subianto sebagai presiden republik Indonesia beserta Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya. Ada yang menarik dari respon ke dua paslon ini dalam menyikapi "kemenangan" mereka. Jauh-jauh hari, Gibran bereaksi sangat santai terhadap pertanyaan wartawan perihal keunggulan paslon 02 dalam rekapitulasi hitung cepat. Bahkan ia sempat bercanda saat ditanya rencana apa yang akan ia lakukan saat berangkat ke jakarta, ia dengan nyelenehnya hanya menjawab “Saya mau mandi dulu di hotel”. Gaya komunikasi seperti ini dengan embel-embel santai dan anak muda yang savage mungkin dianggap sebagai trademark ataupun ciri khas Gibran, tetapi jika ditinjau lebih lanjut jawaban seperti ini di hadapan rekan media, terlebih saat menanggapi isu penting sama sekali tidak dapat diindahkan. Gibran, dengan embel-embel anak mudanya tetap merupakan pejabat publik yang sudah seyogyanya menyampaikan segala informasi yang ditanyakan dengan jelas dan etis.
Rasanya, selain dari jawaban Nyeleneh Gibran yang penulis ulas di muka, banyak juga kejadian serupa dimana pejabat publik kita menjawab sekenanya dan cenderung keluar topik saat diminta pernyataan mengenai suatu hal. Baru-baru ini saja misal, tatkala menkominfo kita bapak Budi Ari diminta menanggapi maraknya judi online dan langkah yang dilakukan kominfo guna menyelesaikannya, sang menteri malah membuka response nya dengan mengulas kasus polwan yang membakar suaminya yang terjerat judi online. Selain nir empati, sang menteri juga rasanya tidak etis saat menambahkan kalimat “memang perempuan ini kalau marah kejamnya melebihi laki-laki”. Sungguh tanggapan yang tidak penting, serampangan, dan sangat seksis tentunya.
Kejadian-kejadian ini hanyalah sedikit gambaran tentang kualitas komunikasi pejabat publik kita. Dalam skala yang lebih luas, respon-respon nyeleneh, out of topic, marah-marah, bahkan mengancam seringkali dilontarkan oleh mereka yang sebetulnya, salah satu kewajiban terbesarnya adalah untuk menyampaikan program, kinerja dan apa-apa saja yang terjadi di republik ini kepada publik. Tapi, kewajiban pejabat publik dalam hal mengkomunikasikan ini sama sekali jauh dari kata optimal. Masih ingatkah kita saat dpr mencanangkan RUU Cipta Kerja? Mari kita ingat-ingat kembali apa upaya wakil-wakil kita dalam mengomunikasikan hal ini kepada masyarakat? Ya, betul, mereka menggunakan influencer sosial media untuk menggembar-gemborkan program ini kepada masyarakat.
Baca Juga: OPINI: Tantangan dan Peluang Pendidikan Daring di Era Digital
Dalam konteks demokrasi, peran komunikasi publik seharusnya dijalankan oleh pejabat publik karena merekalah yang paling mengerti tentang situasi dan kebijakan yang mereka buat. Selain itu, tidak ada golongan yang memiliki tanggung jawab segitu besar guna membangun dialog dengan publik selain pejabat publik. Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Nyarwi Ahmad, Ph.D menyatakan bahwa Kemajuan demokrasi salah satunya terjadi ketika ada interaksi, ada diskusi yang lebih terbuka antara pejabat publik dan masyarakat. Kalau politisi bergantung pada influencer, ini sama sekali tidak menunjukkan kemajuan demokrasi.
Masalah-masalah yang menyentuh tataran etika, dan juga perantara-perantara yang mengesankan ketidakmampuan pejabat publik untuk berkomunikasi dengan publik, dapat diidentifikasi sebagai gejala awal carut-marutnya demokrasi kita. Meski begitu, tidak sedikit masyarakat yang terus membela hal ini. Jawaban nyeleneh politisi papan atas terhadap suatu persoalan seringkali disorot dan diisi musik latar belakang disc jockey (DJ) Untuk mengesankan bahwa pejabat kita adalah sosok yang edgy dan keren. Dalam kondisi lain, saat ada pejabat publik kita yang marah-marah di depan wartawan seringkali dibela dan dilabeli pejabat yang tegas. Saat mereka menggunakan influencer untuk menyampaikan kebijakan mereka, banyak pula yang membela dengan kalimat seperti “yang penting pesannya tersampaikan”. Penyimpangan-penyimpangan etika dalam berkomunikasi seringkali dianggap wajar dan bahkan dianggap sebagai gaya komunikasi dan ciri khas sesoorang saja. Padahal, dalam konteks etika berkomunikasi mau itu gaya dan ciri khas seseorang sekalipun, tidak dapat diindahkan jika ia melanggar prinsip-prinsip etik dalam berkomunikasi.
Dalam konteks etika berkomunikasi, para ahli seperti Nielsen dan Johannesen menyatakan bahwa sangatlah penting bagi para komunikator untuk mengintegrasikan masalah etika dalam semua aspek komunikasi yang dilakukan. Apalagi berkaitan dengan komunikasi di ruang publik dimana publik tidak hanya mendengarkan konten pembicaraan namun juga memperhatikan gaya dan penampilan si pembicara. Jika ditarik lebih jauh lagi, ahli filsafat seperti Aristoteles yang memiliki ide-ide tentang ethics dan politics menyatakan secara ekstensif pentingnya prinsip moralitas dan etika dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Aristoteles bahkan menegaskan bahwa seseorang yang memiliki ‘ethos’ atau kredibilitas tidak hanya mampu menyampaikan apa yang dirasakan dengan baik namun juga niat serta moral yang baik.
Sanjoy Mitter, seorang professor MIT pada suatu kesempatan menjelaskan bagaimana para filsuf Yunani dan Romawi dahulu merupakan guru public speaking yang patut ditiru karena komunikasi publik yang mereka lakukan merupakan sarana yang digunakan untuk mendapatkan keterlibatan publik (a means of civic engagement) sehingga etika merupakan hal yang dianggap sangat krusial (a matter of virtue). Etik dan etika komunikasi bukan sekedar bagian penting dalam kehidupan dan proses pengambilan keputusan kita namun juga hal yang fundamental dalam proses komunikasi publik.
Persoalan komunikasi antara pejabat publik kita yang carut-marut tidak terlepas dari persoalan penyimpangan etika yang terjadi dalam proses komunikasi itu sendiri. Pada beberapa kesempatan, jika niat adalah hal yang dapati dinilai dan diukur, mungkin kita harus mengukur niat hati para pejabat publik kita. Pasalnya, tidak sedikit pejabat publik kita yang seolah tidak senang berkomunikasi dengan masyarakatnya sendiri, ada yang marah saat ditanya, ada yang buru-buru pergi, dan yang tidak mau berbicara sama sekali pun banyak. Fenomena influencer sebagai penyambung lidah pejabat juga menjadi indikasi kuat bahwa pejabat kita tidak senang berkomunikasi langsung dengan masyarakatnya. Maka dari itu, mungkin kita sebagai masyarakatlah yang harus lebih bawel dalam meminta penjelasan dari setiap progres, kebijakan dan tindak-tanduk pejabat terhadap republik yang kita cintai ini, karena bagaimanapun, setiap warga negara berhak mengetahui berjalan ke arah mana, dan akan dibawa ke arah mana kah negara tempat mereka hidup.***
Tulisan kolaborasi ini disusun Adriansyah Kusuma Wardani, Pd., Hj. R. Panca Pertiwi Hidayati, M.Pd., Marlia, M.Hum.